Rabu, 13 Juli 2016

"LELAH MENJADI SIPUT"

  
   Saat dikandung lalu menjalani proses kelahiran Tuhan telah mengaruniakan proses yang sulit kepadaku sehingga hidup atau mati menjadi taruhan yang mutlak harus diperjuangkan ibuku (i love you mom). Waktu demi waktu yg berjalan lambat dan terasa berat, dengan segala penat dan kesulitan teramat sangat menguras keringat agar semuanya terlewat, sehingga kedua orangtuaku menyematkan kata "untoro" kepadaku sebagai pengingat moment kelahiranku yang mempunyai arti "lama".
   Diriku tumbuh menjadi pribadi yang pemalu, rendah diri dan mudah tersakiti serta selalu senantiasa memaksa diri untuk melapangkan hati. Masa kecilku hidup dengan sangat sederhana dan tabu untuku mempunyai keinginan menjadi seperti teman sebayaku yang dapat menikmati waktu bermain dan sekedar jajan, karena sedari kecil sudah ditanamkan kepadaku tanggungjawab membantu orang tua dan dari sinilah tambah satu lagi sifatku yaitu "nerimo". Begitupula saat beberapa teman TK ku mengatai aku "anak bakul burjo" bukan karena aku anak penjual bubur kacang hijau melainkan  makanan inilah yang setiap pagi ku jadiakan bekal dan kusantap saat teman lain menikmati snack "chiki" atau permen coklat disela-sela istirahat. Kata ibuku; "sing penting maem be'n wetenge' ora lue", kata-kata itulah yang selalu berdengung di dalam kepalaku. Dari semua keadaan ini menjadikan diriku tidak banyak menuntut dan selalu memendam segala rasa dan keinginan sehingga terkadang raga ini tak kuat dan..."breg ambruk" kata orang jawa (jatuh sakit).
   Melihat dan memahami prilaku orang sekitar menjadi aktivitasku sehari-hari, karena anak orang miskin spertiku akan menjadi aib besar bila sampai melakukan kesalahan sebab tanpa itupun orang lain sudah menganggap kami sebelah mata. Oleh sebab itu roda waktu terasa sangat pelan bagiku atau mungkin langkah kami yang terlalu lamban karena kelebihan beban (bukan fisik lho...he..he..). Ada suatu masa ketika ada antrian pendaftaran ABRI (TNI red.) di Kodim dekat wilayahku tinggal, saat itu kami sedang lewat menumpangi sebuah becak dan saat melihat antrian orang banyak yang ingin menjadi tentara, aku meronta-ronta menangis minta turun untuk ikut mndaftar, karena tak bisa mencegah tangisku maka ibuku membiarkan aku turun berlari menemui seorang komandan. Perwira Tentara itu bertanya; " masih kecil kok mau jadi tentara kenapa? ", kujawab lantang dan tegas / setengah berteriak; "mau membantu orang tua.. biar semua gajiku akan kuberikan kepada ibuku!!" semua itu kukatakan karena kepedihan hati ini melihat beratnya beban kedua orang tuaku. Sontak kaget tentara itu sebab melihat ibuku tersungkur jongkok dan berlinangan air mata karena mendengar jawabanku, dengan setengah berkaca-kaca pak tentara memegang bahuku dan brkata lagi; "dik.., umurmu baru 6 tahun, besok kalau sudah 17th baru boleh mendaftar kesini ya....", aku tidak menjawabnya melainkan tersenyum dengan tangan melakukan gerakan hormat bendera.
   Beratnya hidup kami telah menjadi insulin untukku, ketika kumulai beranjak dewasa supaya tidak mudah merengek apalagi menyerah, apapun akan kuhadapi meskipun seringkali terasa hanya jalan ditempat bahkan terkadang terdorong mundur kebelakang. Supaya tertampil tidak rapuh kubentengi diriku dengan sikap yang sedikit angkuh dan acuh meskipun sebenarnya aku adalah orang yang sangat peduli. Iri dan dengki dalam diriku sudah hancur tertimpa beratnya beban hidupku dan sedikit sisanya kubrangus habis dengan kata "harga diri", sebab setiap kali terngiang ditelingaku nasehat penuh cinta dari ibuku; "eling le' ojo seneng macem2 sb kowe' kui anake' wong ra duwe',"  Maka dari itu hidup ini hanya kujalani dan senantiasa kupasrahkan sesuai rancangan Illahi.
   Saat ini kumencoba untuk melepaskan cangkang penuh beban diatas punggungku, ingin segera kutanam sepagai tempat peraduan supaya aku mampu berjalan atau mungkin berlari lebih kencang dari sebelumnya. Dan bila nanti saat lelah datang menghampiri, aku dapat berkata pada diriku sendiri; "hei ...mari pulang istirahatlah sejenak supaya mampu bangun diesok hari untuk menunaikan kewajiban berkarya kembali". Demi melanjutkan semua tugas dan tanggung jawab sebagai makhluk Tuhan secara pribadi, bagi keluarga tercinta, untuk sahabat- sahabat terkasih dan untuk lingkungan yang peduli, sampai kapan.. entah.., mungkin disuatu pagi....suatu pagi...ya mungkin disuatu pagi nanti saat Dia yang menciptakan langit dan bumi memanggilku untuk kembali, dan memampukanku tuk berkata; "ya Allahku ke dalam tanganMu kuserahkan nyawaku", ....... Terpujilah Tuhan pencipta semesta.....

~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~*TOREHAN*HATI*~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~

Tidak ada komentar:

Posting Komentar